Tujuh Sangkakala Dibunyikan
Gambaran Umum
Sebelum meterai yang ketujuh dibuka, Wahyu 7 menyatakan kepada kita bahwa umat Allah akan memperoleh perlindungan khusus.
Mereka digambarkan sebagai 144,000 tentara surgawi yang berkumpul bersiap menghadapi pertempuran besar yang terakhir. Mereka digambarkan sebagai kumpulan orang banyak yang tidak seorangpun dapat menghitung yang datang mewakili setiap bangsa, bahasa dan kaum.
Di meterai yang kelima kita melihat umat Allah yang terus menerus berseru dalam penderitaan mereka. Mereka memohon campur tangan Tuhan untuk menghukum musuh-musuh yang menganiaya mereka.
Dibunyikannya Sangkakala menggambarkan campur tangan Tuhan dalam sejarah sebagai jawaban terhadap seruan dan doa umat Nya. Suara yang turun kepada penduduk dunia dalam menjawab doa doa dari para jiwa jiwa dari bawah mezbah.
Sangkakala dalam Perjanjian Lama
Wahyu 8 menggambarkan ketika tujuh sangkakala dibunyikan, gambaran yang tampaknya datang dari pembukaan meterai yang ketujuh. Merupakan gambaran paling sulit dan paling membingungkan dalam Alkitab adalah peristiwa-peristiwa yang diungkapkan oleh tujuh sangkakala.
Seperti dalam khayal-khayal sebelumnya, pemahaman akan latar belakang Perjanjian Lama dalam pengalaman bangsa Israel adalah penting untuk mengerti apa maknanya bagi gereja Kristen saat ini.
Apakah peran dari peniupan sangkakala dalam kehidupan sehari-hari Israel?
Penggunaan sangkakala memiliki latar belakang yang kaya dalam Perjanjian Lama. Enam kata Ibrani dan dua kata Grika yang diterjemahkan sebagai “sangkakala” atau “meniup sangkakala.”
Dari 134 penggunaan kata sangkakala dalam Perjanjian Lama bahasa Grika, 75 adalah dalam konteks ibadah, 33 merujuk pada situasi pertempuran dan 10 memperingatkan bahwa musuh sudah mendekat.
Yang paling penting dari referensi tersebut adalah Bilangan 10: 8–10. Ayat itu mengatakan bahwa terompet atau sangkakala adalah instrumen yang suci, yang digunakan baik dalam ibadah atau dalam pertempuran. Mereka berseru kepada Allah untuk mengingat perjanjian-Nya dengan umat-Nya.
Ketika Allah mendengar sangkakala dibunyikan, Dia akan melindungi dan membela umat-Nya dalam pertempuran (lihat ayat 9). Sementara imam meniup sangkakala atas korban dalam ibadah Ibrani, Tuhan “ingat” akan umat-Nya dan mengampuni dosa-dosa mereka (lihat ayat 10).
Setiap kali para imam membunyikan sangkakala, Allah bertindak.
Peniupan sangkakala adalah simbol doa perjanjian. Ketika umat Allah berdoa menuntut janji-janji Nya, maka Dia akan merespon. Dia akan membebaskan mereka dari musuh manusia, dan juga dari dosa.
Mengapa tujuh sangkakala?
Sepintas, meniup tujuh sangkakala terdengar seperti rangkaian doa perang dan bencana. Tetapi, ada makna yang lebih dalam, yang menggambarkan konsep spiritual. Hal itu melambangkan umat Allah yang berseru kepada Nya untuk meluruskan ketidak adilan di bumi ini.
Ketika kita meneliti ayat-ayat dari setiap sangkakala, kita akan melihat bagaimana hal itu melambangkan serangkaian campur tangan Tuhan sebagai jawaban terhadap doa-doa umat-Nya.
Hal Ini tercatat dalam pembukaan meterai yang kelima (lihat Wahyu 6: 9–11). Sangkakala tidak dibunyikan sampai surga telah mendengar doa-doa umat Tuhan (lihat Wahyu 8: 2–5).
Pembukaan ketujuh meterai semuanya adalah tentang kemajuan pemberitaan Injil. Hal itu berkaitan dengan orang-orang yang menerima firman dan mengaku menjadi umat Allah.
Tetapi sebagian orang tidak setia. Merekalah target yang dituju oleh Allah untuk membawa mereka kembali kepada-Nya, sama seperti ketika Dia berulang kali melakukannya terhadap bangsa Israel dalam Perjanjian Lama.
Allah ingin semua umat-Nya untuk menjadi pemenang yang akan duduk ditahta Kristus. Dibunyikannya Sangkakala adalah ‘panggilan yang membawa perubahan hidup kepada pertobatan.
Berbeda dengan meterai yang ditujukan bagi umatnya yang mengenal Kristus, Sangkakala yang dibunyikan ditujukan kepada mereka yang bukan pengikut Kristus.
Mereka tidak memiliki meterai Allah di dahi mereka (lihat Wahyu 9: 4) dan dijelaskan secara konsisten dalam Wahyu sebagai “orang-orang yang diam di atas bumi” (lihat Wahyu 8:13, 11:10, 13: 8,14 dan17: 2). Allah mengasihi mereka juga dan ingin membawa mereka kepada-Nya.
Bagi orang-orang tersebut, Sangkakala yang dibunyikan sebagai peringatan bahwa waktu untuk bertobat segera berakhir. Dimana hal itu mendahului malapetaka yang akan terjadi dalam Wahyu 16.
Dibunyikannya sangkakala yang ketujuh membawa kita kepada saat, ketika pekerjaan Injil di bumi selesai (lihat Wahyu 10: 7; bandingkan Efesus 3: 2–7). Orang-orang masih memiliki kesempatan untuk bertobat sampai sebelum sangkakala ketujuh dibunyikan, ketika Allah melangkah masuk dan mendirikan kerajaan-Nya (lihat Wahyu 11: 13–15).
Kapan tujuh sangkakala dimulai?
Petunjuk tentang kapan waktunya sangkakala mulai dibunyikan terdapat dalam Wahyu 8: 2–5. Ayat Ini berbicara dalam bahasa korban sehari-hari di tempat kudus Perjanjian Lama atau kaabah.
Layanan itu sendiri terjadi dua kali sehari pada pukul 9:00 pagi dan 15:00 sore. Akhir dari upacara harian itu diumumkan dan ditandai oleh tiupan sangkakala.
Tubuh anak domba ditempatkan di atas mezbah korban bakaran. Darah dituangkan di dasar altar. Kemudian Imam mengambil pedupaan emas dalam kaabah dan membakar dupa di altar emas di Tempat Kudus.
Selama upacara ini orang-orang di halaman kaabah menunggu dengan tenang dalam doa. Pada saat imam keluar untuk memberkati orang-orang, tujuh orang imam meniup sangkakala, menandai akhir upacara korban harian.
Jelas, peniupan tujuh sangkakala adalah urut-urutan dari kematian Anak Domba dalam Wahyu 5. Dimulai pada kematian Yesus di kayu salib.
Peniupan sangkakala menunjukkan bahwa korban yang utama dan terakhir telah tuntas dipersembahkan sekali dan untuk semua. Sejak saat itu ada tawaran kasih karunia dan penghakiman — rahmat bagi mereka yang percaya, tetapi bagi mereka yang menolak tawaran itu, masa penghakiman telah dimulai.
Peniupan sangkakala berlangsung terus sejak saat Yesus di salib sampai pada kedatangan Yesus kedua kali, ⎯ dimulai saat upacara korban harian berakhir sampai suara sangkakala ketujuh dibunyikan dan Allah membawa kerajaan-Nya (Lihat Wahyu 8: 1–5 & 11:15).
Mengapa sangkakala dibunyikan?
Tempat yang terbaik untuk memulai adalah dibukanya meterai yang kelima untuk penghakiman bagi “penduduk bumi” (lihat Wahyu 6: 9, 10).
Dalam Wahyu 8: 3–5, kita menyaksikan bahwa doa dari orang-orang kudus ⎯ umat Allah ⎯ sedang dipanjatkan.
Sangkakala dibunyikan adalah serangkaian penghakiman dalam menanggapi doa-doa umat Allah, yang digambarkan sebagai “kesengsaraan” yang berturut-turut dalam ayat 13. Penghakiman yang berturut-turut dalam sejarah terjadi ketika Tuhan berusaha untuk menyelamatkan penduduk bumi kepada diri-Nya.
Wahyu 8: 6 menunjukkan bahwa doa dan seruan umat Tuhan menyebabkan ditiupnya sangkakala sebagai penghakiman atas mereka yang telah menganiaya umat Allah. Tapi ingat, penghakiman ini dirancang sebagai tegoran kepada orang-orang yang bukan umat Allah dan untuk memenangkan mereka kepada-Nya. hal Ini masih akan berlangsung sampai ke saat-saat terakhir (lihat Wahyu 11:13).
Allah adalah Allah yang gemar dalam berbelas kasih.
Ketika kita mempelajari makna dari Sangkakala, kita akan melihat bahwa hal itu diungkapkan sejak waktu kematian Yesus di Kalvari sampai ketika Dia datang lagi.
Pesan dari Tujuh Sangkakala bagi kita adalah: “Kuatkanlah hatimu. Allah turut campur dalam sejarah dunia meskipun mungkin tidak selalu diketahui oleh umat-Nya. “
Sangkakala dibunyikan
Kata-kata dari bunyi sangkakala tampaknya menggambarkan bahwa Allah sedang membongkar / merombak hasil ciptaan-Nya dalam persiapan untuk membentuk ciptaan yang baru. Proses itu berlangsung seperti pada kisah penciptaan dalam buku Kejadian namun dalam urutan yang terbalik.
Seperti yang sudah ditunjukkan, sangkakala memainkan peran signifikan dalam cara Allah berhubungan dengan umat-Nya pada zaman Alkitab. Sangkakala memegang peranan penting dalam sejarah Israel, misalnya, pemberian sepuluh hukum di Sinai dan penghancuran kota Yerikho.
Dalam Perjanjian Baru, dikatakan bahwa sangkakala terdengar dibunyikan ketika Kristus mengumpulkan umat-Nya (lihat Matius 24:31; 1 Korintus 15: 51–53; 1 Tesalonika 4:16, 17).
Pada dasarnya, sangkakala mengumandangkan saat dan waktu ketika Tuhan campur tangan dalam menanggapi doa-doa umat-Nya, sebagaimana mereka digunakan dalam Wahyu 8 dan 9. Sangkakala dibunyikan terhadap mereka yang tidak memiliki meterai Allah, di tempat lain digambarkan sebagai “mereka yang diam di bumi” (lihat Wahyu 9: 4).
Sangkakala yang dibunyikan dalam rangka menanggapi kekuatan-kekuatan dalam sejarah yang telah menganiaya dan merugikan umat Allah.
Sementara masih ada kesempatan untuk bertobat, sayangnya, sebagian besar manusia tidak menyadarinya (lihat Wahyu 9:20, 21). Sangkakala adalah peringatan dari malapetaka yang akan datang: ⎯ waktu hampir habis dan pintu kasihan segera akan ditutup.
Sangkakala adalah penghakiman Allah untuk menyadarkan manusia akan kebutuhan mereka akan Yesus sebelum terlambat.
Selama Sangkakala dibunyikan, pemberitaan Injil masih berlangsung. Sebagai contoh:
- Dalam Wahyu 10:11, Yohanes — yang melambangkan umat Allah — diperintahkan untuk bernubuat lagi.
- Wahyu 14: 7 menunjukkan umat Allah masih memberitakan Injil yang kekal selama masa krisis dan menyerukan kepada orang-orang untuk kembali kepada Tuhan dan memuliakan Dia.
- Wahyu 11:13 menyatakan bahwa beberapa dari mereka yang selamat sangat ketakutan dan menanggapi dengan memberikan hormat dan kemuliaan bagi Allah.
Kita tidak boleh lupa bahwa Injil adalah jantung dari semua yang sedang terjadi.
Kita jangan pernah melupakan fakta bahwa buku ini adalah Wahyu tentang Yesus Kristus.
Ada beberapa ajaran yang beredar yang tidak selaras dengan maksud utama buku ini. Jika kita berada di jalur yang benar, seharusnya kita bisa melihat Injil di dalam Sangkakala tersebut.
Untuk itu marilah sekarang kita mulai meneliti apa makna dibunyikannya sangkakala bagi kita.
Apa arti dibunyikannya sangkakala ‘bagi kita?
Khayal dan penglihatan dalam Wahyu 8: 2–6 sangat mengagumkan. Yohanes menggunakan bahasa Bait Suci di bumi. Korban harian telah disembelih; darah telah tertumpah di mezbah. Sekarang orang-orang menunggu dalam kesunyian, berdoa karena mereka menunggu kembalinya imam dari Tempat Kudus dalam Kaabah.
Dalam ayat 1, seluruh surga sunyi senyap. Mereka mendengarkan doa-doa umat Allah.
Apakah doa-doa kita berpengaruh? Pernahkah Anda mendesah dan menangis di hadapan Allah karena ketidakadilan yang telah terjadi kepada Anda? Pernahkah anda berpikir apakah doa anda telah melampaui langit-langit?
Seluruh mahluk surga tertarik pada apa yang anda dan saya doakan. Saat kita berdoa, doa kita bercampur dengan asap dupa yang mewakili kebenaran Kristus.
Tetapi perhatikan bagaimana adegan berganti dalam ayat 5. Bahasa yang berasal dari Yehezkiel 10: 1, 2 dimana malaikat mengambil bara api dari kerubim dan mencerai-beraikan bara api ke atas Yerusalem sebagai simbol penghakiman ilahi di kota yang jahat.
Adegan pembukaan ini seolah latar belakang panggung bagi semua adegan sangkakala. Yang terus ditampilkan selama khayal penglihatan dengan referensi konstan kembali ke adegan ini dan adegan api.
Ayat 6 menyatakan bahwa tujuh malaikat bersiap untuk meniup terompet. Karena doa umat Allah, penghakiman akan datang keatas penduduk bumi. Allah bertindak dalam hidup kita dan dalam sejarah, namun banyak dari kita tidak menyadarinya.
Dua pesan bagi umat Allah yang keluar dari dibunyikannya sangkakala di ayat 8: 6–9: 21 :
1. Sangkakala adalah pesan penghiburan bagi umat Allah. Allah selalu, dan telah, campurtangan terhadap kekuatan yang menindas, bahkan ketika kita tidak melihatnya. Allah terus campurtangan terhadap kekuatan yang telah menyakiti kita. Tidak peduli seberapa buruk hal-hal yang di dunia ini, Allah masih memegang kendali.
2. Sangkakala tampaknya mengungkapkan sejarah sebelum terjadi (Nubuatan). Sejarah yang bukan tanpa tujuan; sejarah memiliki tujuan dan bergerak menuju klimaksnya.
Sangkakala yang Pertama
Baca Wahyu 8:7
Hujan es dan hujan api bercampur darah yang dilemparkan ke atas bumi. Sepertiga dari bumi, sepertiga dari pohon-pohon dan semua rumput hijau terbakar.
Sangkakala ini menggunakan bahasa Perjanjian Lama untuk menggambarkan musuh-musuh umat Allah menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka. Apa yang kita baca di sini merupakan gaung dari malapetaka yang ditimpakan kepada Mesir, seperti air menjadi darah dan kegelapan besar.
Hujan es dan api bercampur darah yang digunakan secara konsisten oleh Allah melawan musuh-musuh umat-Nya dalam Perjanjian Lama (lihat, misalnya, Yehezkiel 38:22, 23). Hujan es dicampur dengan api adalah salah satu malapetaka pada Mesir (lihat Keluaran 9: 23–25).
Tetapi Tuhan juga menggunakan api atau hujan es terhadap orang Israel yang murtad (lihat Yeremia 21: 12–14 dan Yesaya 30:30).
Penghakiman Allah akan jatuh pada umat-Nya jika mereka terus memberontak terhadap-Nya. Pohon dan rumput hijau sering melambangkan Israel ketika mereka setia kepada perjanjian (lihat Yesaya 44: 2–4), sedangkan pohon kering melambangkan Israel ketika mereka tidak setia.
Namun hanya sepertiga yang kena dampak. Dalam nubuat Yehezkiel dan Zakharia, penghakiman terhadap Israel yang murtad digambarkan sebagai malapetaka yang mempengaruhi sepertiga dari bangsa (lihat Yehezkiel 05:12, 13; Zakharia 13: 8, 9).
Ketika Babel jatuh kerajaannya terbagi menjadi tiga (lihat Wahyu 16:19).
Dalam Wahyu 12: 4, ekor naga — melambangkan Setan — menyapu sepertiga dari bintang-bintang di langit. Ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa mereka telah meninggalkan Allah dan sekarang di bawah pengaruh setan.
Istilah kata sepertiga adalah cara untuk mengatakan bahwa bagian dari kerajaan Setan terkena dampak penghakiman Allah.
Ke-empat sangkakala yang pertama tidak berdampak luas ; sedangkan tiga sangkakala yang terakhir jauh lebih parah.
Perhatikan bagaimana Yesus mengambil simbolisme ini ketika berbicara dengan orang-orang Yahudi. Dalam Lukas 23: 28–31, Dia mengatakan pada dasarnya: “Lihatlah apa yang terjadi kepada-Ku dan Aku tetap setia kepada Allah. Bayangkan apa yang akan terjadi pada bangsa ini yang tidak setia kepada Allah. “
Yesus memprediksi kehancuran Yerusalem pada tahun 70 Masehi. Secara simbolis, Yesus adalah pohon hijau dan mereka yang menolak dia adalah pohon-pohon kering.
Penghakiman jatuh pada mereka “pohon kering” yang dengan keinginan sendiri melangkah keluar dari dalam perlindungan Tuhan.
Sementara sebagian orang Yahudi menerima Kristus dan memilih setia di bawah perlindungan berkat perjanjian, namun kebanyakan memilih menempatkan diri di luar janji perjanjian.
Tampaknya orang-orang yang tidak menerima-Nya umumnya karena mereka terlalu sibuk dengan hal-hal lain atau mereka percaya akan prasangka dari orang lain. Oleh karena itu, penghakiman sangkakala pertama berlaku kepada orang-orang dari “dalam rumah” yang menolak Yesus.
Yesus dibesarkan dan melayani dalam komunitas agama; Dia diterima oleh banyak orang, termasuk banyak imam. Namun, kepemimpinan Yahudi dan banyak pengikutnya menolak Dia.
Dengan demikian, penghakiman jatuh pada orang-orang yang menolak Yesus di Yerusalem, Yudea dan daerah sekitarnya.
Sangkakala pertama merupakan momen penting tentang penghakiman dalam sejarah: orang-orang Romawi datang dan menghancurkan Yerusalem pada tahun 70 Masehi. Mereka yang menolak Yesus telah menjadi pohon kering. Penghakiman dimulai dari rumah Allah.
Yesus mengingatkan bangsa Israel bahwa penolakan terhadap Dia dapat menuju kepada penghancuran kaabah mereka
Sangkakala yang Kedua
Baca Wahyu 8: 8, 9
Sebuah gunung besar, semuanya terbakar, kemudian dilemparkan ke laut dan sepertiga dari air berubah menjadi darah. Sepertiga dari makhluk hidup di laut mati dan sepertiga dari kapal hancur.
Dalam kitab Daniel, Kerajaan Allah digambarkan sebagai gunung yang besar (lihat Daniel 2:35, 44, 45). Sebuah gunung dalam Perjanjian Lama seringkali melambangkan kerajaan atau kesultanan di bawah hukuman dari Allah. Juga, Babel dipandang sebagai tiruan kerajaan Allah.
Dalam hal ini bagian dari Wahyu 8, kita menemukan bahasa dari para nabi Perjanjian Lama ketika mereka menggambarkan kejatuhan Babel, musuh-musuh umat Allah. Sungai Efrat, dan berhala yang terbuat dari emas dan perak, yang disebutkan dalam kejatuhan Babel.
Di sini kita memiliki referensi terhadap penghakiman kepada Babel kuno seperti yang ditemukan dalam Yeremia 51:24, 25. Hal ini digambarkan seolah tenggelam kedalam laut dalam ayat 42.
Dan, dalam ayat 63, 64, Babel digambarkan sebagai sedang terikat batu dan dilemparkan ke sungai Eufrat, tenggelam dan tidak bangkit lagi.
Bahasa yang sama ini digunakan oleh Yohanes dalam Wahyu 18:21 untuk menggambarkan jatuhnya Babel rohani di akhir zaman.
Oleh karena itu, kita memiliki alasan yang baik untuk melihat penghakiman Allah melalui sangkakala ini dalam jatuhnya Kekaisaran Romawi.
Roma dan Babel telah menghancurkan Kaabah Yerusalem. Baik Petrus maupun Yohanes menggunakan kata “Babel” untuk berbicara tentang Roma (lihat 1 Petrus 5:13; Wahyu 17 dan 18).
Jelas, orang-orang Kristen yang mula-mula memandang Roma sebagai Babel . Mereka bisa dengan mudah mengidentifikasi gunung terbakar sebagai jatuhnya Roma, kejadian yang ketika itu belum terjadi pada saat Yohanes menulis Kitab Wahyu.
Dari sudut pandang mereka yang baru pertama kali membaca kitab Wahyu, Kekaisaran Romawi pasti keliatannya seolah tak terkalahkan. Tetapi khayal yang diterima Yohanes membuat nabi Yohanes yakin bahwa Allah memperhatikan kegiatan penindas di bumi ini, dan Dia bertindak pada saat yang tepat.
Seperti orang-orang Yahudi yang menolak Kristus, Roma telah menunjukkan permusuhan terhadap Kristus dan umat-Nya dan sehingga menuai hukuman Allah dalam Sangkakala kedua.
Ketika kita membaca dalam Wahyu 8: 8 perihal laut berubah menjadi darah, makhluk hidup di laut mati dan kapal hancur dari gunung jatuh ke laut, ini terdengar akrab, yaitu ketika tulah di Mesir, air berubah menjadi darah dan ikan-ikan mati.
Kemudian dalam Wahyu 18: 17–21, kita membaca bagaimana kapal melambangkan kesombongan manusia dan kejatuhan Babel. Sekali lagi, konsep sepertiga digunakan untuk menunjukkan bahwa Kerajaan Setan sedang mengalami hukuman Allah.
Penghakiman dua sangkakala yang pertama jatuh pada orang-orang yang terlibat dalam penyaliban Kristus — yaitu orang Yahudi dan Romawi. Mereka juga telah menganiaya para pengikut-Nya.
Penghakiman ini muncul sebagai jawaban atas doa-doa umat Allah.
Sangkakala yang Ketiga
Baca Wahyu 8:10–11
Sebuah bintang super besar yang disebut Aspintus (akar tanaman yang pahit) jatuh dari langit di sungai dan mata air. Sepertiga dari semua air berubah pahit dan banyak orang mati karena air pahit.
Bintang sering digunakan dalam Alkitab untuk berbicara tentang malaikat. Hal yang sama berlaku dalam Wahyu (lihat Wahyu 1:20, 12: 4 dan 9). Sebuah bintang besar yang jatuh mengingatkan kita akan jatuhnya Setan sebagaimana dicatat dalam Yesaya 14: 12–15, yang menggambarkan dirinya sebagai “bintang pagi” jatuh dari langit. Wahyu 12: 7–9 menegaskan hal ini dengan mengatakan Setan dibuang dari surga ke dunia ini.
Sungai dan mata air melambangkan santapan dan penyegaran rohani. Misalnya, dalam Yohanes 7: 37–39, Yesus menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti bagi pendengar-Nya, menunjuk kepada Mazmur 1: 3, yang menggambarkan sebuah pohon ditanam di tepi aliran air.
Tetapi sekarang air itu menjadi pahit. “Aspintus” adalah nama untuk jenis tumbuhan yang dikenal atas rasa pahit nya. Tanaman itu bukan tanaman beracun; namun efek beracun yang terjadi sering dikaitkan dengan tanaman itu.
Dalam Perjanjian Lama, ketika Israel berpaling dari Allah dan perjanjian, mereka digambarkan sebagai yang diberikan aspintus untuk dimakan dan air beracun untuk diminum (lihat Yeremia 9:15; 23:15).
Dalam Ulangan 29: 16–18, kepahitan digunakan sebagai simbol kemurtadan, menolak kebenaran demi doktrin palsu.
Ajaran palsu mempengaruhi orang. Hal itu menghilangkan keyakinan mereka terhadap Allah karena air kebenaran telah diracuni: ⎯ bahwa keselamatan yang dijanjikan sebaliknya menjadi sumber kematian.Air pahit tidak dapat menopang kehidupan.
Banyak penulis Perjanjian Baru memperingatkan bahwa masalah akan terjadi kepada gereja-2 Kristen ⎯ lihat contoh dalam 2 Petrus 2: 1, 2, Kis 20: 26–31 dan 2 Tesalonika 2: 1–4.
Ketika kita pelajari nasihat kepada jemaat di Pergamus, kita melihat bagaimana kompromi dapat mempengaruhi gereja. Sebuah contoh sejarah yang menonjol perihal kompromi adalah ketika unsur pemujaan matahari masuk kedalam keKristenan pada saat masuknya Kaisar Konstantin menjadi Kristen , .
Penulis abad pertengahan, seperti Bernard dari Clairveaux dan Fransiskus Asisi, mengakui bahwa sesuatu yang benar-benar salah, telah terjadi terhadap gereja. Masalah itu dipahami dengan baik dan diakui pada zaman sekarang ini.
Beberapa tahun yang lalu, John Paul II meminta maaf atas apa yang telah terjadi.
Selama lebih dari 1000 tahun, Injil itu hilang dari sebagian besar dunia Kristen.
Ini adalah era kebodohan ketika orang tidak dapat mendengar kabar baik tentang Yesus Kristus. Orang-orang mengira mereka bisa mendapatkan pahala dari Tuhan dengan berpuasa, ziarah dan memberikan uang kepada gereja.
Ada banyak persyaratan yang ditambahkan ke dalam iman Kristen yang tidak berdasar pada Alkitab. Tradisi mulai mengalahkan Alkitab. Itu sebabnya saat ini dalam sejarah — periode abad pertengahan — sering disebut Abad Kegelapan.
Air yang manis telah berubah menjadi pahit. Di bawah sistem ini, tidak ada yang bisa memastikan keselamatan mereka di dalam Yesus. Tidak ada sukacita atau kepastian dalam agama model begini. Hasilnya adalah kematian rohani.
Sangkakala ketiga adalah kemerosotan spiritual dan kemurtadan di dalam gereja.
Sangkakala yang Keempat
Baca Wahyu 8:12
Kegelapan adalah fitur utama dari sangkakala ini. Terang dan gelap memiliki akar dalam Penciptaan (lihat Kejadian 1: 14–18).
Perhatikan bagaimana Yohanes mengacu kepada terang dan gelap dalam Injilnya (lihat Yohanes 1: 1–9).
Yesus adalah terang dunia, sehingga kegelapan adalah tidak adanya Yesus dan Injil yang benar.
Yesus berkata dalam Yohanes 12:46: “Aku datang ke dalam dunia sebagai cahaya, sehingga tidak ada orang yang percaya kepada-Ku akan tetap tinggal dalam kegelapan.”
Seperti tulah di Mesir, itu adalah hukuman Allah. Firaun bertanya dengan penghinaan: “Siapakah Allah ini? Saya tidak kenal dia.” Mesir digunakan dalam Wahyu sebagai simbol penolakan untuk mengenal Allah yang benar.
Sangkakala keempat menunjukkan semakin dalamnya kegelapan rohani di dunia ini setelah Abad Kegelapan.
Ketika gereja gagal untuk memberitakan Injil, filsafat lainnya akan mengambil alih dan tampil lebih menarik.
Yesus memberikan peringatan dalam Yohanes 3:19: “Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia mencintai kegelapan bukan Terang. “
Ketika Reformasi dimulai pada abad ke-16, hal itu membantu membebaskan sebagian dari gereja. Ada perhatian pada orang yang membaca Alkitab dan menemukan kembali Injil. Kontroversi teologis dan perang juga terjadi.
Reformasi Protestan melakukan pekerjaan besar. Hal Ini membawa kita ke zaman modern ilmu pengetahuan dan kemajuan. Hal itu mengakhiri dominasi agama terhadap pikiran orang-orang awam.
Namun, seperti biasanya, tidak ada yang seluruhnya baik atau buruk. Hidup ini penuh dengan variasi.
Dengan Reformasi datang zaman logika. Ada Pencerahan, yang mendorong kemajuan dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan. Kebebasan beragama merupakan efek tambahan.
Sementara banyak hal positif yang telah dikembangkan sejak reformasi, beberapa helai pemikiran manusia kurang positif, terutama yang tidak bergantung pada Alkitab. Sebagai contoh:
- Sekularisme — kehidupan yang terpisah dari Allah — menuntun kepada kehidupan seolah-olah Allah tidak ada.
- Rasionalisme — menganggap bahwa pengetahuan dapat dihasilkan hanya dengan akal manusia bukan apa yang telah dinyatakan Allah dalam Alkitab. Rasionalisme juga menghasilkan penolakan terhadap hal-hal yang supranatural.
- Humanisme — menjadikan sebagai pusat dari segala sesuatu. Humanisme memiliki keyakinan yang kuat dalam kebaikan bawaan kemanusiaan.
Semua hal ini dapat dipandang bertentangan dengan kabar baik yang ditemukan dalam Injil. Kabar baik tidak bisa diketahui hanya oleh akal manusia saja karena ⎯ itu menyatakan bahwa sifat alamiah manusia adalah jahat semata.
Kita memerlukan bantuan dari Tuhan. Kita perlu memiliki kehidupan Yesus diperhitungkan kepada kita sebagai hadiah gratis.
Alkitab mudah didapatkan tetapi banyak yang tidak mengerti atau tidak mau membacanya.
Orang-orang zaman sekarang pergi ke tempat lain dalam pencarian mereka akan arti hidup.
Inilah keadaan kita hari ini di abad ke-21. Posisi Kita adalah unik dalam sejarah manusia. Untuk pertama kalinya kita hidup di zaman di mana ada sejumlah besar orang bahkan tidak mengakui keberadaan Tuhan.
Seperti Firaun, mereka berkata: “Siapa Tuhan ini? Saya tidak kenal dia!”
Tetapi kebanyakan orang menjadi agnostik bukan ateis. Akibatnya kita memiliki dua penyakit sosial di zaman ini: kehidupan tanpa arti dan tanpa harapan.
Kegelapan ini dan tidak adanya Injil telah menyiapkan jalan bagi sangkakala kelima dan keenam.
Yang Lebih buruk lagi sedang menanti (lihat Wahyu 8:13). Elang seperti burung pemakan bangkai, berputar-putar ketika kematian dan kehancuran berlangsung.
Ketika sangkakala kelima dibunyikan, kuasa-kuasa kegelapan dilepaskan dan sejak saat itu semuanya menjadi semakin buruk.
Perhatikan apa yang terjadi selama sangkakala kelima dan keenam, ketika itu kegelapan semakin mendalam. GK Chesterton pernah menulis: “Ketika orang tidak percaya pada Tuhan, mereka tidak percaya pada yang tidak kelihatan, mereka percaya segala sesuatu.”
Menyimpulkan ke Empat Sangkakala
Ada pelajaran penting yang bisa dipetik dari ke empat sangkakala yang pertama:
- Betapa pentingnya untuk mengetahui Alkitab dan ajaran-ajarannya. Dalam Alkitab, kita belajar kebenaran tentang Yesus Kristus. Tanpa itu , kita akan menemukan diri kita dalam kegelapan. Kita perlu belajar sendiri dan tidak bergantung pada orang lain.
- Allah mengendalikan sejarah. Kita mungkin tidak selalu melihatnya tapi Dia ada di sana. Hanya dengan bantuan Alkitab bisa kita mengerti sejarah dengan benar.
Doa kita sangat berarti bagi Tuhan. Doa kita di perhatikan dan sebagai hasilnya, Allah bertindak.
Adalah akibat seruan doa umat Allah yang membuat sangkakala dibunyikan.
Seluruh Surga Diam Mendengarkan Doa Yang Dipanjatkan
[1] Herbert Danby (ed dan trans), The Mishnah, edisi pertama, Oxford University Press, London, 1933, halaman 582–9.Halaman ini mencerminkan tradisi para rabi yang berkaitan dengan layanan Tamid harian di Bait Allah
Penulis : Dr. Jon Paulien & Dr. Graeme Bradford
Penterjemah : Michael Mangowal